Senin, 04 Januari 2010

Mutu dan Moralitas Pendidikan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Mutu pendidikan di Indonesia sekarang ini tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Moralitas para pendidik dan peserta didik juga masih jauh dari kata baik. Padahal pendidikan dan moral yang baik diperlukan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Perlu adanya upaya khusus untuk meningkatkan mutu pendidikan dan mengembalikan moralitas para pendidik dan peserta didik di Indonesia.
Sumber daya manusia yang baik akan tercipta apabila pendidikan di Indonesia mempunyai mutu yang baik dan bermoral. Perlu adanya kesadaran masing-masing individu bahwa pendidikan dan moral yang baik merupakan aspek penting dalam membangun suatu bangsa.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia bukanlah kesalahan dari pemerintah saja, namun kita sebagai masyarakat Indonesia harus serta mempunyai keinginan yang tulus untuk memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Karena itulah penulis tertarik untuk membahas hal tersebut pada pembahasan makalah ini. Tentunya penulis berharap makalah ini dapat membuat kita sebagai generasi muda lebih peduli terhadap keadaan pendidikan di Indonesia.



1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah mutu pendidikan di Indonesia saat ini?
1.2.2 Apakah moralitas para pendidik dan peserta didik di Indonesia saat ini sudah baik?
1.2.3 Kapan mutu dan moralitas pendidikan di Indonesia bisa menjadi baik?
1.2.4 Mengapa mutu dan moralitas pendidikan di Indonesia kurang baik?
1.2.5_Siapakah yang bertanggung jawab terhadap kondisi pendidikan di .Indonesia saat ini?

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1_Untuk mengetahui mutu pendidikan di Indonesia saat ini
1.3.2_Untuk mengetahui moralitas para pendidik dan peserta didik di .Indonesia saat ini
1.3.3_Untuk mengetahui penyebab kurang baiknya mutu dan moralitas .pendidikan di Indonesia saat ini
1.3.4..Untuk mengetahui cara meningkatkan mutu pendidikan dan .mengembalikan moralitas para pelaku pendidikan di Indonesia saat ini
1.3.5 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia Keilmuan yang diasuh oleh bapak Didin Widyartono





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mutu Pendidikan di Indonesia
Mutu pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Itu tercermin pada baik buruknya mutu pendidikan di Indonesia yang dapat kita lihat dari hasil lulusan pada setiap tahunnya. Banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan program studi yang diambil. Selain itu masih tingginya angka pengangguran juga menjadi cerminan betapa mutu pendidikan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan yang diharapkan. Banyaknya anak yang putus sekolah juga merupakan cerminan kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Adanya bantuan seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tidak bisa membantu para siswa yang kurang mampu dengan optimal. Beberapa waktu lalu santer pemberitaan di televisi tentang banyaknya wali murid yang mengeluh karena pihak sekolah masih mengadakan pungutan-pungutan untuk membayar buku dan sebagainya, bahkan terdapat beberapa sekolah yang masih mengadakan pungutan liar. Kondisi ini tentunya sangat memberatkan pihak wali murid dan semakin menambah jumlah anak yang putus sekolah.
Selain itu pemerintah selama ini lebih banyak mengutamakan hasil belajar daripada proses belajar itu sendiri. Padahal yang lebih penting bukanlah nilai A, B, atau C melainkan hasil yang di dapat oleh peserta didik itu sendiri. . Idealnya, mutu pendidikan yang baik akan menghasilkan input yang baik pula.

Kebijakan pemerintah mencanangkan wajib belajar 9 tahun merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Akan tetapi itu tidaklah cukup. Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia masih tertinggal sangat jauh.
Di Sumatera Barat, program pendidikan 12 tahun sudah diterapkan di Kota Padang Panjang, Kota Pariaman, dan Kabupaten Pessel. Upaya yang dilakukan oleh Gamawan Fauzi, Gubernur Sumatera Barat ini sangat patut kita acungi jempol. Masyarakat di Indonesia secara umum menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu sekitar 7 tahun, sedangkan di luar negeri mencapai 18,5 tahun (Gamawan Fauzi dalam SAMAN UI: 2009).
Sudah saatnya pemerintah daerah yang lain meniru apa yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera Barat agar peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dapat tercapai.

2.1 Moralitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang bermoral (Mukminin,2003) adalah pendidikan yang dalam prosesnya mampu menjadikan peserta didik menjadi seorang peserta didik yang bermoral dari SD sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan yang bermoral akan menjadikan peserta didik mempunyai akhlak yang mulia.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini, banyak kita jumpai para peserta didik melakukan tindakan kriminal dan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada seperti melakukan seks bebas, minum-minuman keras, dan lain sebagainya yang tidak selaras dengan norma-norma sosial dan keagamaan. Untuk itulah diperlukannya pendidikan yang bermoral. Husamah menyebutkan (Husamah, 2006) pendidikan merupakan sebuah proses pembentukan moral dan menjadikan manusia maju serta mempunyai rasa kemanusiaan.
Menurut Mukminin (Mukminin, 2003) pendidikan di Indonesia telah mengenyampingkan banyak hal terutama moralitas. Pendidikan di Indonesia seharusnya mampu menjadikan peserta didik yang bermoral, mandiri, matang, dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu, tidak arogan, dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa dari pada kepentingan pribadi atau kelompoknya. Akan tetapi seperti yang bisa kita lihat di lapangan banyak para pejabat pemerintahan yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Padahal mereka mempunyai latar belakang pendidikan yang tidak saja tinggi melainkan juga lulusan luar negeri.
Agar pendidikan di Indonesia dapat diperbaiki, menurut Mukminin (Mukminin, 2003) proses transformasi ilmu pengetahuan harus dilakukan oleh orang-orang yang bermoral juga. Karena apa yang telah dilakukan oleh generasi muda sekarang adalah mencontoh dari apa yang dilakukan para guru, pejabat, dan terutama orang tua.
Bagaimana para peserta didik bisa menjadi manusia yang bermoral kalau masih banyak guru yang menerima uang dari para wali murid untuk memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit, kelas akselerasi, maupun untuk mengganti nilai dari yang jelek menjadi bagus? Kalau para pejabat pemerintahan masih sibuk korupsi dan saling menjatuhkan satu sama lain dan orang tua murid masih melakukan tindakan curang dalam dunia pendidikan, itu semua tidak akan menjadikan para peserta didik semakin bermoral akan tetapi menjadi semakin tidak bermoral karena yang menjadi panutan adalah orang-orang yang tidak bermoral. Selain itu menurut Mukminin (Mukminin, 2003), sebaiknya sekolah-sekolah unggulan, kelas-kelas unggulan, dan kelas-kelas akselerasi ditiadakan saja karena hanya akan meningkatkan perbedaan yang ada.
Akan tetapi menurut Husamah (Husamah, 2006) kesalahan tidak boleh diberikan kepada para pendidik saja karena waktu di sekolah lebih sedikit daripada waktu di rumah. Orang tua lebih menentukan moralitas peserta didik karena lebih banyak waktu peserta didik yang di habiskan di dalam rumah. Selain itu Husamah juga menambahkan bahwa televisi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya moralitas para peserta didik sekarang ini. Banyak acara-acara televisi yang hanya mengumbar nafsu dan demi kepentingan bisnis saja seperti acara “Take Me Out” dan “Take Him Out” yang ditayangkan di indosiar. Acara-acara di televisi tidak memberikan pendidikan yang baik bagi peserta didik sekarang ini.
Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan Husamah, bahwa 70% waktu yang dihabiskan oleh peserta didik adalah di dalam rumah atau di lingkungan sekitar. Jadi, orang tua dan lingkungan sekitar sangat mempengaruhi pembentukan moralitas peserta didik. Selain itu, teman bermain juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi moralitas peserta didik karena banyak sekali para remaja yang meniru apa yang dilakukan oleh temannya. Televisi juga merupakan sarana yang mempengaruhi moralitas para peserta didik. Bagaimana peserta didik bisa menjadi seorang manusia yang bermoral jika yang ditonton setiap hari hanyalah acara-acara dan sinetron yang mengumbar nafsu belaka? Hanya sedikit sekali acara-acara yang bermanfaat di dunia pertelevisian saat ini. Apalagi banyak sekali majalah-majalah porno yang dijual bebas sehingga banyak anak di bawah umur yang sudah mulai rusak moralnya. Terbukti dengan banyaknya pemberitaan di Televisi tentang pemerkosaan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.
Para pendidik juga harus bersikap adil kepada peserta didik karena pendidik juga menjadi faktor dalam perkembangan moralitas peserta didik meskipun bukan menjadi faktor yang utama. Para pendidik atau pengajar harus memberikan contoh yang baik kepada peserta didik.
(Bimo, 2009) mengatakan moralitas seseorang tidak dapat diukur dengan tinggi tidaknya pendidikan orang tersebut melainkan diukur dari tinggi rendahnya nilai religious seseorang. Karena, apabila nilai religious seseorang sudah baik, maka akan berdampak pada perbuatanya yang baik pula.

2.3 Cara Meningkatkan Mutu dan Moralitas Pendidikan di Indonesia
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia perlu upaya yang benar-benar serius. Banyaknya pihak yang membisniskan pendidikan harus sadar dengan apa yang telah mereka lakukan. Orang-orang yang mempunyai finansial lebih hendaknya lebih perduli terhadap dunia pendidikan dengan menyumbangkan sebagian dari harta mereka untuk dunia pendidikan. Selain itu pemerintah bisa mengembangkan cara pembelajaran yang baru di sekolah-sekolah. Menurut Tony Setyo Hartono, mutu pendidikan yang baik tidak selalu dengan harga yang mahal. Salah satunya dengan menggunakan IT (Information Technology) yang sebenarnya sudah ada sejak dulu (Tony, 2008).
Tony juga mengatakan bahwa urusan pendidikan menggunakan media IT sebenarnya sudah dilakukan di perusahaan-perusahaan maju. Contohnya waktu dia bekerja di IBM tahun 1990-1995. Hal yang pertama kali harus dia lakukan adalah mengambil training-training melalui materi-materi rekaman Laser Disk. Laser Disk ini berisi rekaman-rekaman video dari para pakar di IBM. Setelah mengambil training-training tersebut, Tony dipersilahkan mengambil ujian bersertifikat melalui sistem yang serba online. “Cara training dan ujian seperti itu sangat efektif jika materinya dikemas dengan baik dan menarik” (Tony, 2008). Beberapa tips untuk membuat materi training yang baik menurut Tony adalah:
1.Mengumpulkan semua guru terbaik yang ada di Indonesia
2.Masing-masing guru mengajarkan materi pelajaran sesuai bidangnya dan semuanya direkam
3.Kualitas rekaman dapat ditingkatkan dengan adanya insentif yang sangat menarik sehingga setiap guru akan berlomba-lomba membuat materi terbaik
4.Materi pengajaran diperbanyak dan dibagi ke semua sekolah yang ada di Indonesia
5.Semua materi pengajaran tersebut bisa diletakkan di Internet sehingga para siswa dapat melihatnya dengan menggunakan browser saja
6.Membuat suatu sistem untuk melakukan ujian secara online dan resmi


Beberapa hal yang harus disiapkan oleh lembaga pendidikan (Tony, 2008) adalah:
1.Menyiapkan bandwidth yang cukup untuk keperluan menyambungkan seluruh sekolah-sekolah yang ada
2.Bekerja sama dengan pembuat PC/laptop, sehingga akan tersedia PC murah untuk dipakai di sekolah-sekolah terutama untuk sekolah-sekolah yang belum maju
3.Bekerja sama dengan para penerbit buku untuk membuat versi online dari masing-masing buku
Selain itu Tony juga menambahkan bahwa “semua hal ini sebenarnya sudah mungkin diterapkan di Indonesia. Dan dengan kontribusi dari ISP dan Operator Telekomunikasi serta vendor-vendor IT, saya sangat yakin bahwa semua kendala teknis dan biaya bisa diatasi” (Tony, 2008).
Sedangkan untuk membuat dunia pendidikan di Indonesia menjadi bermoral, perlu ditekankan pada setiap sekolah agar materi pelajaran agama dan kesopanan bukan hanya menjadi materi pelajaran yang selesai ujian langsung dilupakan, akan tetapi harus di praktekan. Guru dan orang tua harus menjadi contoh yang baik untuk membangun moralitas generasi penerus bangsa.
Apabila mutu dan moralitas pendidikan di Indonesia sudah baik, maka generasi penerus bangsa akan menjadi generasi yang bisa memajukan bangsa dan mengangkat martabat bangsa menjadi lebih tinggi.

BAB III
PENUTUP
1.1Kesimpulan
1.Mutu pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari kata baik.
2.Moralitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.
3.Pemerintah harus benar-benar mengupayakan perbaikan mutu dan moralitas pendidikan di Indonesia dengan serius.
4.Semua masyarakat harus bekerjasama untuk mendukung dan mengawasi program pemerintah untuk memajukan mutu dan moralitas pendidikan di Indonesia.

1.2Saran
Kita sebagai generasi penerus bangsa harus lebih peka dan peduli terhadap dunia pendidikan di Indonesia karena kemajuan suatu bangsa terletak pada generasi muda. Pendidikan dan moral yang baik akan menjadikan generasi muda menjadi semakin lebih baik di kemudian hari.

DAFTAR RUJUKAN

Bimo. 2009. Pendidikan Membuat Anda Pintar Tapi Belum Tentu Bermoral.
(http://cisituboi.multiply.com, diakses 20 Oktober 2009)

Huzamah. 2006. Artikel Pendidikan: Pendidikan Bermoral dan Tayangan Bermoral.
(http://re-searchengines.com, diakses 21 Oktober 2009)

Mukminin. 2003. Artikel Pendidikan: Pendidikan yang Bermoral.
(http://re-searchengines.com/amukminin, diakses 20 Oktober 2009)

Seno, Tony. 2008. Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia.
(http://tonyseno.blogspot.com, diakses 25 Oktober 2009)

Ui, Saman. 2009. Mutu Pendidikan di Indonesia Masih Rendah.
(http://samanui.wordpress.com, diakses 25 Oktober 2009)

Senin, 28 Desember 2009

Teori Sibernetik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Adanya beberapa teori belajar dalam belajar dan pembelajaran. Salah satunya adalah teori sibernetik. Teori sibernetik ini adalah teori yang terbaru dari teori-teori lainnya. Menurut teori sibernetik belajar adalah pemprosesan informasi. Proses memang penting dalam teori sibernetik, namun yang lebih penting lagi adalah system informasi yang diproses. Informasi inilah yang akan menentukan proses.
Teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu jenispun cara belajar yang ideal untuk segala siruasi.karena cara belajar sangat ditentukan oleh system in-formasi.
Dengan teori sibernetik ini dapat mempermudah perolehan pengetahuan baru yang rinci. Namun dari kelebihan itu semua, teori sibernetik mempunyai kele-mahan yaitu kurang memperhatikan akan proses belajar.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana teori sibernetik itu?
1.2.2 Apakah kelebihan dan kekurangan dari teori sibernetik?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui teori sibernetik
1.3.2 Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari teori sibernetik



BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Teori Sibernetik
Teori sibernetik merupakan salah satu teori belajar. Pengertian teori sibernetik sendiri adalah teori belajar yang mengutamakan proses informasi. Teori sibernetik mempunyai persamaan dengan teori kognitif, yaitu lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Hanya saja sistem informasi yang akan dipelajari siswa lebih dipentingkan.
Menurut teori sibernetik tidak ada cara belajar yang sempurna untuk segala kondisi karena cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Ada tiga tahap roses pengolahan informasi dalam ingatan, yakni dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval).
Komponen pemrosesan informasi dipilih berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya "lupa". Ketiga komponen ter-sebut adalah :
a. Sensory Receptor (SR) merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar. Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk as-linya, bertahan dalam waktu sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu atau berganti.
b. Working Memory (WM) diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu. Karakteristik WM adalah memi-liki kapasitas terbatas (informasi hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik tanpa pengulangan) dan informasi dapat disandi dalam ben-tuk yang berbeda dari stimulus aslinya. Artinya agar informasi dapat bertahan dalam WM, upayakan jumlah informasi tidak melebihi ka-pasitas disamping melakukan pengulangan.
c. Long Term Memory (LTM) diasumsikan; 1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, 3) sekali informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan pernah ter-hapus atau hilang. Persoalan lupa pada tahapan ini disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang diper-lukan.
Teori sibernetik mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses in-ternal yang mencakup beberapa tahapan. Sembilan tahapan dalam peristiwa pembelajaran sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan belajar adalah :
a. Menarik perhatian
b. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa
c. Merangsang ingatan pada pra syarat belajar
d. Menyajikan bahan peransang
e. Memberikan bimbingan belajar
f. Mendorong unjuk kerja
g. Memberikan balikan informative
h. Menilai unjuk kerja
i. Meningkatkan retensi dan alih belajar
Menurut Landa, ada dua macam proses berpikir. Pertama, disebut proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu. Jenis kedua adalah cara berpikir heuristik, yakni cara berpikir divergen, menuju kebeberapa target sekaligus.
Ahli lain yang pemikirannya beraliran sibernetik adalah Pask dan Scott. Pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott sama dengan pendekatan algoritmik. Pask dan Scott membagi siswa menjadi tipe menyeluruh atau wholist, dan tipe serial atau serialist. Mereka mengatakan bahwa siswa yang bertipe wholist cenderung mempelajari sesuatu dari yang paling umum menuju ke hal-hal yang lebih khusus, sedangkan siswa dengan tipe serialist dalam berpikir akan menggunakan cara setahap demi setahap atau linier.
Namun, cara berpikir menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.

2.2 Kelebihan dan Kekurangan Teori Sibernetik
Teori sibernetik mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teori siber-netik adalah:
a. Cara berfikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.
b. Penyajian pengetahuan memenuhi aspek ekonomis.
c. Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap.
d. Adanya keterarahan seluruh kegiatan kepada tujuan yang ingin dica-pai.
e. Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesung-guhnya.
f. Kontrol belajar memungkinkan belajar sesuai dengan irama masing-masing individu
g. Balikan informative memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk ker-ja yang diharapkan.
Sedangkan kekurangan teori sibernetik adalah terlalu menekankan pada sistem informasi yang dipelajari, dan kurang memperhatikan bagaimana proses belajar.

2.3 Penerapan Teori Sibernetik Dalam Pembelajaran
Teori sibernetik merupakan teori belajar yang masih baru dibandingkan teori-teori belajar lainnya. Teori ini berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik belajar adalah pemrosesan
informasi. Teori sibernetik lebih mementingkan sistem informasi dari pesan atau materi yang dipelajari.
Proses belajar menurut teori sibernetik akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu atau masalah yang hendak dipecahkan (dalam istilah yang lebih teknis yaitu sistem informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat apabila disajikan dalam bentuk "terbuka" dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Misalnya, agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah kesatu target tertentu. Namun, untuk memahami makna suatu konsep yang luas dan banyak memiliki interpretasi (misalnya konsep "burung"), maka akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah yang "menyebar" (heuristik), dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatis, dan linier.
Aplikasi teori sibernetik dalam pembelajaran dirumuskan dalam teori Gagne dan Brigss yang mendeskripsikan adanya kapabilitas belajar, peristiwa pembelajaran, dan pengorganisasian atau pengurutan pembelajaran.



BAB III
PENUTUP


3.1 KESIMPULAN
Teori sibernetik merupakan teori baru dalam belajar yang lebih mengutamakan sistem informasi dari materi yang dipelajari. Ada tiga tahap proses pengolahan informasi dalam ingatan, yakni dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval). Komponen pemrosesan informasi dipilih berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya "lupa". Ketiga kom-ponen tersebut adalah sensory receptor, long term memory, dan working memory.

3.2 SARAN
Hendaknya kita sebagai calon pendidik lebih banyak menganalisa teori-teori belajar yang baru dan menerapkannya dalam proses pembelajaran seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang ada.

Minggu, 27 Desember 2009

Aliran-aliran Linguistik dan Perkembangannya

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aliran- aliran linguistik dan perkembangannya

Linguistik merupakan ilmu bahasa yang mulai berkembang pada abad XX. Sebelumnya, pada abad III sebelum Masehi terdapat seorang ahli bahasa India bernama Panini yang mempelajari bahasa Sansakerta dalam kitab-kitab suci orang Brahmana dan kitab Veda. Akan tetapi ilmu bahasa di India tidak berkembang, sedangkan orang-orang Eropa yang membawa pengetahuan tentang bahasa Sansaketa ke Eropa tidak tertarik untuk mempelajari bahasa India tersebut, melainkan terpukau dengan persesuaian teratur yang terdapat antara bahasa Sansakerta dan bahasa Latin, Yunani dan bahasa-bahasa Germania (Samsuri, 1988: xii).

Terlepas dari Panini, linguistik berkembang dengan pesat di dunia Barat dan Eropa. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari kian banyaknya teori dan penelitian yang telah dihasilkan serta munculnya bermacam gerakan dan aliran. Perkembangan teori-teori tersebut merata pada pelbagai cabang-cabang linguistik, seperti pada fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, juga pragmatik. Bukan itu saja, penelitian-penelitian yang dilahirkan dari perkembangan teori tersebut pula semarak dan tumbuh bak jamur di musim hujan. Perkembangan teori dan makin banyaknya penelitian yang dihasilkan itu tidak terlepas dari gerakan dan aliran yang memayungi dan menyemarakkan dunia linguistik. Diantara aliran-aliran tersebut adalah:

• Aliran Swis

Dapat kita maklumi apabila suatu tradisi berjalan selama satu abad sangat sulit untuk mengubahnya. Demikian pula dalam studi bahasa, khususnya apabila para sarjana menyangka bahwa penelitian perbandingan kesejarahan, seperti yang di tuntut oleh sarjana-sarjana bahasa dalam abad XIX itu merupakan ilmu pengetahuan khusus bagi studi bahasa. Tahun 1872 terdapat pernyataan dari Johannes Schmidt dan kawan-kawannya yang meragukan kebenaran studi komparatif historis itu, baru pada dasawarsa kedua abad XX muncul karya (catatan-catatan kuliah Ferdinand de Saussure) yang dengan tegas mengatakan kekeliruan studi bahasa dalam abad XIX (Samsuri, 1988: 11).
Catatan-catatan kuliah de Saussure berisi pikiran-pikiran de Saussure tentang bahasa adalah sebagai objek tertentu yang dapat dibedakan dari objek-objek lain. Jika dilihat dalam konteks sekarang gagasan de Saussure terkesan biasa saja. Akantetapi apabila gagasan itu ditempatkan dalam permulaan abad XX, gagasannya merupakan suatu revolusi dalam linguistik yang melahirkan aliran serta studi yang tidak saja dianut di Swiss dan Perancis, melainkan seluruh Eropa (Samsuri, 1988: 11).

De Saussure dalam catatan perkuliahannya dapat dikatakan tidak setuju dengan gagasan kaum Junggrammatiker yang hanya membatasi studi bahasa pada aspek kesejarahan saja. Dia menyatakan tiga gagasan umum dalam catatan perkuliahannya, yaitu: (1) bahwa satu-satunya studi bahasa yang ilmiah bersifat sinkronik, (2) bahwa fakta-fakta bahasa itu ada, dan (3) bahwa ia ingin menentukan metode-metode untuk mengidentifikasikan dan membicarakan fakta-fakta bahasa itu (Samsuri, 1988: 12).

Catatan-catatan perkuliahan de Saussure disunting oleh dua orang bekas mahasiswanya, yaitu Charles Billy dan Albert Sechehaye dengan bantuan Albert Reidlinger menjadi sebuah buku Cours de linguistique generale yang sebagian berupa dikotomi-dikotomi seperti sinkronik dan diakronik, bahasa dan ujaran, signifiant dan signifie, paradigmatik dan sintagmatik, bentuk dan substansi, serta bahasa sebagai tanda semiotika (Samsuri, 1988: 12).

• Aliran Praha

Aliran linguistik praha terdiri dari sekelompok ahli bahasa dari Czechoslovakia dan negara-negara lain yang tergabung dalam The Linguistic Circle of Prague (Kelompok Linguistik Praha) yang didirikan pada bulan oktober tahun 1926 atas prakarsa Vilem Mathesius (seorang anggota gereja yang belajar dan mengajar pada Universitas Karolina di Praha) dan melibatkan para ahli bahasa dari dalam Czechoslovakia (B. Havranek, J. Mukarovsky, B. Tranka, J. Vachek, dan M. Weingart) dan luar Czechoslovakia antara lain A.W. de Groot dari Belanda, ahli filsafat dan ilmu jiwa Karl Buhler dari Jerman, A. Belic dari Ygoslavia, Daniel jones dari Inggris, L. Tesniere, E. Benveniste, dan Andre Martinet dari Perancis. Yang paling penting adalah keterlibatan tiga ahli bahasa dari Rusia yakni S. Karcevskij, Roman Osipovich Jacobson dan pangeran Nikolai Sergeyevich Trubeckoj (Samsuri, 1988: 19).

Pokok-pokok aliran ini secara umum dikemukakan sebagai berikut: (1) Dibandingkan dengan telaah diakronis, telaah bahasa secara sinkronis memungkinkan kita menyelidiki bahasa secara lebih lengkap dan lebih terkendali, (2) Tidak ada satu unsur pun dalam sistem bahasa yang dapat dikaji tanpa melihat hubungannya dengan unsur lain dalam bahasa yang bersangkutan –dengan kata lain harus tetap dilihat hubungannya dengan keseluruhan unsur yang ada, (3) Bahasa mempunyai fungsi utama yaitu fungsi komunikatif dan fungsi khusus yaitu fungsi estetis (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005: 204-205). Selain itu aliran praha juga membedakan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi dan fonologi mempelajari fungsi bunyi-bunyi tersebut dalam suatu sistem. Karena penekanan pada hal inilah aliran praha dikenal juga dengan nama aliran fungsional.

• Aliran Kopenhagen

Para ahli bahasa Skandinavia (J.N. Madvig, A. Noreen, H.G. Wiwel, O. Jespersen, dan Rasmus Rask) banyak menghasilkan kajian dalam bidang linguistik umum seperti hasil kajian mereka yang menunjukkan terdapat kekhasan dalam mengembangkan teori kebahasaan (Samsuri, 1988: 41). Kajian mereka itulah yang membuahkan aliran kopenhagen. Dua tokoh utama dalam aliran Kopenhagen adalah Brondal dan Hjemslev yang dalam perkembangannya menunjukkan beberapa perbedaan meskipun mempunyai wawasan dasar yang sama.

Hjelmslev dan Brondal sedikit banyak dipengaruhi oleh wawasan Ferdinand de Saussure. Pengaruh de Saussure dalam Hjelmslev tampak pada pemilihan expression-form dan content-form yang menjadi bagian dari sign function sedangkan dalam Brondal pengaruh de Saussure tampak pada pemilihan kajian kebahasaan secara diakronis dan sinkronis (Samsuri, 1988: 42)

Dari kedua tokoh utama aliran kopenhagen, Hjelmslev lebih mempunyai pengaruh yang besar terutama setelah Hjelmslev mengembangkan wawasan prolegomena dalam mengembangkan teori linguistik, dan bersama dengan Uldall mengembangkan teori Glosematik yang disebut sebagai aliran Glosematik setelah Hjelmslev mempublikasikan buku pertamanya Principles de Grammaire Generale pada tahun 1928 (Samsuri, 1988: 42-43). Adanya kajian fonologi antara Hjelmslev dan Uldall pada tahun 1931 melahirkan Glosematik yang dikenal dunia luar pada tahun 1935 pada saat kongres internasional ilmu fonetik di London (Samsuri, 1988: 43).

• Aliran Strukturalisme Amerika

Munculnya pandangan-pandangan Ferdinand de Saussure yang membahas bahasa secara sinkronik (yang dikenal di Eropa sebagai linguistik struktural) segera tersebar ke Eropa dan luar Eropa, termasuk ke benua Amerika. Perkembangan linguistik struktural di Amerika dipelopori oleh Franz Boas, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield. Kajian ilmu bahasa yang dikaji oleh Franz Boas dan Edward Sapir sedikit banyak dipengaruhi ilmu antropologi karena keduanya memiliki latar belakang disiplin ilmu yang sama, yakni ilmu antropologi. Boaz dan Sapir menyebarkan pengaruhnya baik dalam bentuk ajaran maupun tulisan. Kenneth Lee Pike (ahli bahasa Amerika yang mendirikan dan mengembangkan Summer Institute of Linguistics) merupakan ahli bahasa yang dipengaruhi oleh Boaz dan Sapir (Samsuri, 1988: 49).

Berbeda dengan para pendahulunya (Boaz dan Sapir), Leonard Bloomfield salah satu tokoh aliran strukturalisme di Amerika lebih banyak menggunakan tulisan-tulisan daripada bntuk ajaran-ajaran dalam menyebarkan pengaruhnya. Bloomfield sangat ingin mengilmiahkan linguistik sehingga masuk ke dalam kelompok empirisme, khususnya psikologi behaviorisme (Samsuri, 1988: 49).

Aliran Strukturalisme mulai dikembangkan Bloomfield pada permulaan 1930-an sampai akhir 1950-an. Terdapat tiga hal yang membantu perkembangan aliran ini, yaitu: (1) Pada masa itu para linguistik di Amerika dihadapka pada masalah yang sama, yaitu banyak bahasa Indian yang belum diperikan, (2) Bloomfield menolak sifat mentalistis (sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang di Amerika), yaitu behaviorism, (3) Terdapat hubungan yang baik antara para linguis karena adanya The Linguistic Society of America yang menerbitkan majalah Language (Kentjono, 1990: 143). Dalam majalah Language, terdapat teori-teori yang terkenal antara lain teori fonem dan morfem, pemisahan tahap analitik untuk subkomponen fonemik, morfemik, dan sintaktik, penemuan konsep relativitas linguistik dari berbagai bahasa non-Indo-Eropa, penerapan konsep teorik pada pengajaran bahasa, dan lain sebagainya (Strauss dalam Samsuri, 1988: 50).



• Aliran London

Aliran London dikembangkan oleh John R. Firth. Firth mengembangkan gagasan Bronislaw Malinowski tentang makna dalam bahasa yang disebut dengan konteks situasi. Gagasan Malinowski tidak sama dengan kaum behavioris. Menurut Malinowski, “makna tuturan itu seperti yang terdapat dalam konteks situasinya” (Samsuri, 1988: 61). Sejalan dengan Malinowski, Firth berpendapat “bahwa telaah bahasa harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur kata harus dikaji dalam konteks situasinya” (Kentjono, 1990: 140).

Menurut pendapat Firth, ajaran behavioristik Watson yang dianut para linguis Amerika tidak diperlukan. Firth juga memandang Malinowski terlalu asyik mempertentangkan sesuatu yang ”real” dengan sesuatu ”yang tidak mempunyai eksistensi” (Samsuri, 1988: 64). Firth berpendapat bahwa pertanyaan tentang realitas dapat melumpuhkan penyelidikan (Samsuri, 1988: 65).

Aliran London dikenal juga sebagai aliran Prosodi karena teori fonologi prosodi Firth yang terkenal. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan prosodi, satuan fonematis merupakan unsur-unsur segmental konsonan dan vokal, sedangkan prosodi adalah ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada suatu segmen tunggal (Kentjono, 1990: 140).

Tiga macam prosedi pokok menurut Firth adalah : (1) Prosodi yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata, struktur suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal (2) Prosodi yang terbentuk oleh sandi atau jeda (3) Prosodi yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem: fonem-fonem suprasegmental (Kentjono, 1990: 140).

2.2 Tokoh-tokoh Aliran Linguistik

Terdapat beberapa tokoh linguistik yang sangat besar sumbangannya terhadap perkembangan linguistik secara umum. Diantaranya adalah:

• Ferdinand de Saussure (1857-1913)

Ferdinand de Saussure menyelesaikan studinya pada tahun 1880 dengan summa cum laude dengan disertasinya tentang penggunaan kasus genetif dalam bahasa sansakerta. Setelah lulus Saussure pindah ke paris dan mengajar di Universitas Paris. Tahun 1881 sampai 1889 Saussure menggantikan Breal mengajar tata bahasa perbandingan. Saussure kembali ke Swiss pada tahun 1891. Awalnya Saussure mengajar tata bahasa perbandingan di Universitas Geneva, kemudian berpindah mengajar tentang linguistik umum. Setelah Saussure meninggal pada tahun 1913, buku Saussure Cours de Linguistique Generale disunting oleh bekas mahasiswanya berdasarkan catatan kuliah mahasiswa-mahasiswanya selama Saussure mengajar linguistik di Universitas Geneva dan diterbitkan pada tahun 1916 (Samsuri, 1988: 11-12). Pandangan Saussure banyak berpengaruh terhadap perkembangan linguistik di kemudian hari. Saussure juga serng dianggap sebagai pelopor linguistik modern (Kentjono, 1990: 131).

• Louis Hjelmslev (1899-1965)

Louis Hjelmslev terkenal dalam linguistik karena usahanya menjadikan ilmu bahasa sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Hjelmslev beranggapan bahwa teori bahasa harusnya bersifat arbitrer. Hjelmslev mengikuti pendapat Saussure yang menganggap bahasa memiliki dua segi, yakni segi ekspresi (signifiant) dan segi isi (signifie). Masing-masing segi mengandung forma (form) dan substansi (substance). Hjelmslev memandang bahasa sebagai sistem hubungan dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif (Kentjono, 1990: 140-141).

• John R. Firth (1890-1960)

Firth merupakan oposisi atas tradisi kajian linguistik Amerika yang dipelopori oleh Bloomfield. Firth berpendapat bahwa ” kajian fonemik bukanlah bukanlah satu-satunya cara dan juga bukan merupakan cara terbaik untuk menunjukan struktur fonologis bahasa(Samsuri, 1988: 64).
Firth sangat terkenal dengan teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah aliran yang dikembangkannya disebut dengan aliran prosodi atau disebut juga dengan aliran London. Fonologi prosodi adalah suatu teknik untuk menentukan arti pada tataran fonetis dan terdiri dari satuan-satuan fonematis dan prosodi (Kentjono, 1990: 140).




• M.A.K. Halliday (lahir 1925)

Halliday mengembangkan teori firth mengenai bahasa, terutama yang berhubungan dengan masyarakat. Teori yang dikembangkan Halliday disebut dengan systemic linguistic. Pokok systemic lingustic antara lain: (1) memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa (2) Memandang bahasa sebagai bentuk “pelaksana” (3) Lebih mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasinya (4) mengenal adanya gradasi atau cline dalam bahasa (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005: 210).

Daftar Pustaka


Kentjono, Djoko. 1990. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta: Universitas Indonesia
Kushartanti, Yuwono, dan Lauder. 2005. PESONA BAHASA: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Jumat, 25 Desember 2009

my new blog

ini neh blog baruku.
(buat tugas pa didin)
nyesel juga kenapa blog yang lama ga pernah ta urusin,, hikz,,
akhirnya mulai dari awal lagi deh..
huhuhu...